Stop Eksploitasi Anak
By:
Ilmi Alifia
Anak merupakan anugrah dari Tuhan yang maha Esa. Keberadaannya akan
meneruskan spesies manusia di bumi ini. Akan tetapi, tak jarang ditemui anak
yang diperlakukan secara tidak manusiawi. Memperkerjakan anak, atau menyuruh
anak untuk bekerja, sebagai
contohnya.
Eksploitasi terhadap anak bukan merupakan hal baru di era
sekarang ini. Sering kali dijumpai anak-anak yang dimanfaatkan untuk bekerja di
jalanan, dari menjual Koran, mengamen, sampai meminta-minta. Padahal, secara
psikologis usia kanak-kanak merupakan saat untuk belajar dan bermain, bukan
untuk mencari nafkah.
Alasan ekonomi sering kali menjadi alasan mengapa anak
terjun langsung untuk mencari uang. Tidak hanya itu, tidak jarang pula pengemis
yang sengaja membawa anak di bawah umur untuk menarik simpati dari orang yang
melihatnya.Hal ini menyebabkan eksploitasi secara ekonomi terhadap anak menjadi
hal yang lumrah.
Peran Pemerintah
Secara normatif, hak anak untuk mendapatkan perlindungan
telah dijamin oleh Negara melalui UU Perlindungan Anak (UU PA) Nomor 23 tahun 2002. Pasal 13 menyebutkan bahwa anak yang
masih dalam pengasuhan orang tua atau wali berhak mendapatkan perlindungan dari
perlakuan diskriminasi, eksploitasi ekonomi maupun seksual, penelantaran,
kekerasan dan ketidakadilan.
Namun, kenyataannya kini banyak kasus mengenai
penelantaran anak. Menurut penuturan Menteri Sosial, Salim Segaf Al-Jufri,
jumlah anak terlantar di Indonesia mencapai 4,5 juta anak,tersebar diberbagai
daerah. Pemerintah melalui Kementrian Sosial sudah menyediakan dana sebesar 281
miliar rupiah (Psikologi Zone). Dana yang
disediakan dengan jumalah anak yang harus diselamatkan sangat tidak seimbang.
Dengan 281 miliar, hanya cukup untuk menangani 175 ribu anak, tak lebih dari
1%. Lantas, bagaimana dengan nasib anak yang lain?
Melihat realita tersebut, pemerintah seharusnya lebih
peka. Eksploitasi anak merupakan masalah yang serius mengingat anak adalah
calon penerus bangsa. Jika sejak masa kanak sudah ditelantarkan, bisa
dibayangkan bagaimana hancurnya masa depan bangsa ini. Jika amanat dalam UU PA
dilaksanakan, tentunya masalah ini akan bias teratasi. Anggaran untuk
penanganan terhadap anak terlantar harus ditambah secara signifikan. Dengan
dana tersebut, pemerintah bisa memberikan sarana belajar dan berlatih untuk
anak. Disana, anak dapat belajar sekaligus berlatih keterampilan tertentu.
Walaupun tidak semua anak akan bersedia untuk
meninggalkan pekerjaannya, setidaknya dengan sarana gratis, sebagian besar anak
akan meningkat kualitasnya. Anak tidak harus turun langsung ke jalanan yang rentan akan tindak kriminal. Dengan
demikian, diharapkan kemampuan survival
anak menjadi lebih baik. Orang tua juga tidak perlu khawatir mengeluarkan uang
karena semua biaya ditanggung oleh pemerintah.
Selain itu, peran masyarakat juga sangat diperlukan.
Dalam hal ini, kesadaran dan kepekaan sosial harus ditingkatkan. Masyarakat
seharusnya tidak berdiam diri ketika melihat fenomena eksploitasi anak ini.
Menyisihkan sebagian hartanya untuk membantu sesama diharapkan dapat dilakukan
oleh semua pihak. Apalagi, masyarakat Indonesia yang dalam sejarah selalu
dicitrakan sebagai masyarakat yang egaliter. Pancasila, sebagai dasar Negara
juga menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Jangan sampai hal-hal tersebut
hanya selesesai pada taraf normatif saja, tanpa ada implementasinya dalam
kehidupan sekarang ini.