Senin, 29 Oktober 2012

Opini (Defensa)


Stop Eksploitasi Anak
By: Ilmi Alifia


Anak merupakan anugrah dari Tuhan yang maha Esa. Keberadaannya akan meneruskan spesies manusia di bumi ini. Akan tetapi, tak jarang ditemui anak yang diperlakukan secara tidak manusiawi. Memperkerjakan anak, atau menyuruh anak untuk bekerja, sebagai contohnya.
Eksploitasi terhadap anak bukan merupakan hal baru di era sekarang ini. Sering kali dijumpai anak-anak yang dimanfaatkan untuk bekerja di jalanan, dari menjual Koran, mengamen, sampai meminta-minta. Padahal, secara psikologis usia kanak-kanak merupakan saat untuk belajar dan bermain, bukan untuk mencari nafkah.
Alasan ekonomi sering kali menjadi alasan mengapa anak terjun langsung untuk mencari uang. Tidak hanya itu, tidak jarang pula pengemis yang sengaja membawa anak di bawah umur untuk menarik simpati dari orang yang melihatnya.Hal ini menyebabkan eksploitasi secara ekonomi terhadap anak menjadi hal yang lumrah.
Peran Pemerintah
Secara normatif, hak anak untuk mendapatkan perlindungan telah dijamin oleh Negara melalui UU Perlindungan Anak  (UU PA) Nomor 23 tahun 2002. Pasal 13 menyebutkan bahwa anak yang masih dalam pengasuhan orang tua atau wali berhak mendapatkan perlindungan dari perlakuan diskriminasi, eksploitasi ekonomi maupun seksual, penelantaran, kekerasan dan ketidakadilan.
Namun, kenyataannya kini banyak kasus mengenai penelantaran anak. Menurut penuturan Menteri Sosial, Salim Segaf Al-Jufri, jumlah anak terlantar di Indonesia mencapai 4,5 juta anak,tersebar diberbagai daerah. Pemerintah melalui Kementrian Sosial sudah menyediakan dana sebesar 281 miliar rupiah (Psikologi Zone). Dana yang disediakan dengan jumalah anak yang harus diselamatkan sangat tidak seimbang. Dengan 281 miliar, hanya cukup untuk menangani 175 ribu anak, tak lebih dari 1%. Lantas, bagaimana dengan nasib anak yang lain?
Melihat realita tersebut, pemerintah seharusnya lebih peka. Eksploitasi anak merupakan masalah yang serius mengingat anak adalah calon penerus bangsa. Jika sejak masa kanak sudah ditelantarkan, bisa dibayangkan bagaimana hancurnya masa depan bangsa ini. Jika amanat dalam UU PA dilaksanakan, tentunya masalah ini akan bias teratasi. Anggaran untuk penanganan terhadap anak terlantar harus ditambah secara signifikan. Dengan dana tersebut, pemerintah bisa memberikan sarana belajar dan berlatih untuk anak. Disana, anak dapat belajar sekaligus berlatih keterampilan tertentu.
Walaupun tidak semua anak akan bersedia untuk meninggalkan pekerjaannya, setidaknya dengan sarana gratis, sebagian besar anak akan meningkat kualitasnya. Anak tidak harus turun langsung  ke jalanan yang rentan akan tindak kriminal. Dengan demikian, diharapkan kemampuan survival anak menjadi lebih baik. Orang tua juga tidak perlu khawatir mengeluarkan uang karena semua biaya ditanggung oleh pemerintah.
Selain itu, peran masyarakat juga sangat diperlukan. Dalam hal ini, kesadaran dan kepekaan sosial harus ditingkatkan. Masyarakat seharusnya tidak berdiam diri ketika melihat fenomena eksploitasi anak ini. Menyisihkan sebagian hartanya untuk membantu sesama diharapkan dapat dilakukan oleh semua pihak. Apalagi, masyarakat Indonesia yang dalam sejarah selalu dicitrakan sebagai masyarakat yang egaliter. Pancasila, sebagai dasar Negara juga menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Jangan sampai hal-hal tersebut hanya selesesai pada taraf normatif saja, tanpa ada implementasinya dalam kehidupan sekarang ini.

ANAK BUKAN BUDAK
By: Minna Miraccle

Anak, menurut Undang-undang Perlindungan Anak (UU PA) nomor 23 Tahun 2002 dan Konvensi Hak Anak (KHA), manusia berumur 18 tahun termasuk yang di dalam kandungan. Secara psikologis, masa anak merupakan masa manusia belajar dan bermain. Akan tetapi, sekarang ini banyak anak yang terpaksa atau dipaksa untuk mencari nafkah. Hal ini tentu merupakan ketidakwajaran dimana seseorang yang belum pantas untuk bekerja, harus melaksanakan tugas dari orang dewasa. Hal ini sudah masuk pada kasus eksploitasi anak secara ekonomi.
Ironisnya, banyak orang tua yang tidak melarang anaknya bekerja. Bahkan, orang tualah yang menyuruh anak untuk mencari uang di jalanan. Namun demikian, tidak sepantasnya anak yang masih di bawah umur bekerja dalam bentuk apapun.
Dalam UU PA disebutkan bahwa anak berhak mendapat perlindungan dari eksploitasi ekonomi maupun seksual serata dari kekerasan. Oleh karena itu, pemerintah harus bertindak konstitusional dengan memberikan perlindungan terhadap anak. Selain itu, kesadaran masyarakat akan hal ini perlu ditingkatkan. Dengan demikian, diharapkan eksploitasi terhadap anak tidak akan terjadi.

Optimalisasi UUPA


Optimalisasi UU Perlindungan Anak
By: Ana dan Elly
Eksploitasi terhadap anak seperti penjualan, prostitusi, pornografi anak dan lainnya telah menjamur di Indonesia. Bahkan, Indonesia merupakan salah satu pemasok perdagangan anak terbesar di wilayah Asia Tenggara. Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Linda Amalia Sari Gumelar mengatakan terdapat lebih dari seratus ribu perempuan dan anak menjadi korban perdagangan manusia. Sejalan dengan hal tersebut, berdasarkan data Polri tahun 2011, Linda menyebutkan ada 126 kasus yang melibatkan 68 korban berusia anak, 63 diantaranya berjenis kelamin perempuan. “Berbagai data tersebut hanya sebagian kecil kasus yang dapat diketahui. Saya yakin sesungguhnya kasus eksploitasi anak lebih besar lagi jumlahnya,” tegasnya. (www.hukumonline.com)
Pada enam bulan awal di tahun 2012 kekerasan terhadap anak untuk kasus eksploitasi seks dan pornografi anak mengalami peningkatan sangat tajam. Berdasarkan data Komisi Nasional Perlindungan Anak menunjukkan ada peningkatan 38 persen atau 466 kasus. “Komnas Perlindungan Anak sudah menerima 686 laporan kasus kekerasan terhadap anak dalam satu semester 2012 ini, dengan pengaduan kurang lebih 100 pengaduan pelanggaran terhadap hak anak setiap bulannya,” tutur Arist Merdeka Sirait, Sekretaris Jendral Komisi Nasional Perlindungan Anak ketika membuka Kongres Anak Indonesia ke XI di hotel Golden View, Bengkong, Batam. (batam.tribunnews.com)
Dari beberapa kasus Eksploitasi Seksual Komersial Anak (ESKA), sebagian besar korban adalah anak-anak sekolah menengah. Di Semarang, Jawa Tengah, berdasarkan data yang diperoleh dari IPEC-ILO sekitar 43,6% dari Pekerja Seks Komersial (PSK) masuk dalam kategori umur anak-anak, yakni berusia di bawah 18 tahun. (www.gugustugastrafficking.org)
Hal senada juga diungkapkan oleh salah satu lembaga kemasyarakatan, Children Crisis Center (CCC) Lampung bahwa anak yang berusia antara 16-17 tahun makin rentan menjadi korban ESKA. “Selama kami melakukan pendampingan terhadap anak-anak korban ESKA, usia 14 tahun menempati posisi terendah dalam eksploitasi anak yakni hanya tujuh persen, disusul usia 15 tahun dengan 25%, usia 16 tahun dengan 32%, dan terakhir dengan jumlah tertinggi usia 17 tahun sebanyak 36%,” jelas Murti Rahayu, Ketua Harian CCC Lampung.
Maraknya kasus-kasus ESKA tersebut karena ada faktor-faktor yang mendukungnya. Berdasarkan berbagai hasil penelitian dan pengalaman program penanganan terhadap anak-anak terpinggirkan, termasuk anak yang menjadi korban ESKA, sebagian besar memiliki  latar belakang keluarga dengan kondisi ekonomi yang rendah. Pada umumnya, korban ESKA tidak dipandang masih berstatus pelajar atau sudah putus sekolah. “Dari 130 anak yang kami dampingi, terdapat 81 orang atau 62% anak yang putus sekolah, sedangkan anak yang masih bersekolah mencapai 49 orang atau 38%.” ungkap Murti.
Lebih lanjut, ia mengatakan bahwa mayoritas  mereka berasal dari keluarga yang kurang mampu, sehingga tidak dapat melanjutkan pendidikan. Faktor ekonomi itulah yang menyebabkan anak menjadi korban ESKA. Meskipun ada faktor-faktor pendukung lain yang mempengaruhinya, seperti status pendidikan yang rendah, keluarga yang pecah, gaya hidup, dan perilaku seks bebas. (www.metrotvnews.com)
Implementasi UU
Menyikapi kasus-kasus eksploitasi terhadap anak yang semakin mewabah, maka pemerintah Indonesia tidak mungkin hanya diam berpangku tangan. Sebenarnya Indonesia sudah memiliki Undang-Undang (UU) No.23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan UU No.21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Akan tetapi, kedua UU tersebut tidak memberikan porsi yang tinggi untuk pemberantasan seksual anak. Menurut Linda selaku Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, meskipun undang-undang itu mengatur soal perlindungan anak, namun undang-undang tersebut tidak mengatur secara spesifik pelarangan berhubungan seksual dengan anak-anak dan tidak mengatur pornografi anak. (www.hukumonline.com)
Akhirnya, pada 26 Juni 2012 Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengesahkan UU tentang Ratifikasi Protokol Opsional Konvensi Hak-Hak Anak mengenai Penjualan Anak, Prostitusi Anak, dan Pornografi Anak. Protokol tersebut merupakan salah satu konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang telah ditandatangani oleh Indonesia sejak 24 September 2001 pada sidang umum PBB ke-55. Ini merupakan langkah penting bagi Indonesia dalam pemberantasan perdagangan anak untuk prostitusi. “Konvensi tersebut memberikan porsi yang sangat besar untuk mengkriminalisasi siapapun yang memfasilitasi anak-anak untuk dijadikan objek seks atau bisnis seks,” tutur Ahmad Sofian, koordinator ECPAT (End Child Prostitution, Child Pornography, and Trafficking of Children for Sexual Purpose) Indonesia. (www.perspektifbaru.com)
Sejauh ini pemerintah telah melakukan berbagai macam upaya mulai dari pengembangan kerangka legislasi nasional, penguatan kelembagaan dan peningkatan koordinasi. Terkait peraturan perlindungan anak, pemerintah sudah menerbitkan berbagai regulasi seperti Perpres No. 69 Tahun 2008 tentang Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang, PP No. 40 Tahun 2011 tentang Pembinaan, Pendampingan dan Pemulihan Terhadap Anak yang Menjadi Korban atau Pelaku Pornografi,” ungkap Linda.
Peraturan lain lahir dari Permenkokesra No. 25 Tahun 2009 tentang Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dan Eksploitasi Seksual Anak. Selain itu, di tahun 2012 pemerintah membentuk gugus tugas penghapusan tindak pidana perdagangan orang di 25 provinsi dan 77 kabupaten/kota. Ida Fauziyah, Ketua Komisi VIII DPR mengatakan bahwa pemerintah harus mensinergiskan sejumlah peraturan perundang-undangan tersebut agar selaras dengan Protokol Opsional Konvensi Hak-Hak Anak. Dengan demikian, amanat protokol tersebut dapat terimplementasikan.
Akan tetapi, untuk menjalankan amanat tersebut diperlukan dukungan dan kerjasama dari berbagai pihak. "Tak hanya itu, peran serta masyarakat umum yang mengetahui adanya kejadian perdagangan, prostitusi dan pornografi anak ini juga harus aktif membantu pemerintah mengatasinya dengan melapor pada polisi," harap Ida. (www.hukumonline.com)
Sedangkan menurut Ahmad Sofian, langkah pertama yang harus dilakukan oleh pemerintah secara administrasi adalah secepatnya memberi nomor UU tentang ratifikasi protokol tersebut supaya bisa diaktifkan oleh Sekretariat Negara dan diumumkan kepada publik, sehingga menjadi UU secara nasional. Setelah itu pemerintah dan DPR secepatnya melakukan amandemen terhadap UU yang belum memasukkan mengenai ketentuan mengkriminalisasi pelaku eksploitasi anak, terutama UU No.23 tahun 2002. Seharusnya hal tersebut dimasukkan ke dalam rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) karena KUHP menjadi panduan bagi semua penegak hukum. “Jika tidak masuk dalam KUHP maka UU kita akan menjadi lemah dalam memberantas perdagangan anak dan eksploitasi seks terhadap anak,” tambahnya. (www.perspektifbaru.com)
  

Langkah-langkah Kecil


Langkah- langkah Kecil

By: Luluph

Sayup-sayup mata itu memandangku. Mata yang dibaliknya terangkai harap. Harap akan koin atau selembar berlabuh di tangannya. Sedang aku masih saja nanar memandangnya. Kosong.
Langkah-langkah kecil tanpa sandal menahan terik aspal yang meleleh seperti peluhnya. Di tubuh yang seharusnya mengalir merah putih. Di tubuh yang seharusnya bernaung di bawah atap huruf-huruf  dan angka satu, dua, tiga, pula dongeng-dongeng tentang kancil pencuri timun yang berngiang dalam lelapnya.
Lagi, mataku memandangnya, penuh harap agar kelak langkah-langkah kecil itu bisa  mengerek bendera, menghafal pancasila, lalu menggambar garuda. Lantas dengan lantang ia berpidato di depan ratusan mata, langkah-langkah kecil.   
Semarang, Oktober 2012
Luluph.

Aku Jalang, Bukan? (Cerpen)


Aku jalang, bukan?
Oleh: Inayah Az Zahra (teratai salju)


Merah gincu yang merona, semerah darah yang segar baru mengalir, menetesi bibir mungil nan sedikit tebal yang kerap dilumat, dan di kecap oleh bibir lain yang terkadang beraroma rokok, alcohol bahkan terkadang dilumat oleh si bibir yang ujungnya berkulit kering, dan sedikit berdarah. Alis mata yang menukik bagai elang yang turun terjun menghunus tatanan mega kelabu, bergaris hitam, coklat, bahkan tosca. Tubuh yang mulus, halus selembut sutra, dan secerah permata menghiasi mahkota ratu inggris, namun kadang biru lebam terlukis membentuk rasa sakit dan nyeri yang sangat bila tersentuh.
Seperti biasa, ujung renda masih terasa dingin dan menyapa kelam menyeruak sukma, hilir angin yang terhembus mengibas-ibaskan dahan kering menjadikan suara kemresek gesekan-gesekan lembut, dan terkadang mencuri waktu untuk mengibaskan rambutku yang sebahu hitam pekat bagai tinta hitam yang lumer tertumpah.
tak beda dengan yang lain, aku sudah berdiri dengan tubuhku yang begitu indah dalam balutan kaus berwarna merah jambu gantung yang terlihat pundak dan ketiak yang sedikit basah, dan celana pendek dibawah pinggang yang membentuk indah bagian dari diriku, dan kulihat, beberapa kawanku yang lain yang tak jauh beda dengan tampilanku, hanya sedikit lebih merona bedak tertabur di pipi mereka, sudah mendapatkan pemangsa berikutnya.
Malam ini, aku dibasahi parfum penuh pesona yang dalam, dan bahkan dalamnya dapat menenggelamkan, bila terhirup oleh si hidung belang mungkin saja ia tak pernah bisa lepas dari gelayutannya, menggantung di awang-awang, mendayu lembut membelai kumis mereka, di tiap helai rambutnya. Baru selang beberapa menit saja setelah kawanku yang berada disampingku yang sedari tadi melambai-lambaikan tanganya dan menuaikan mutiara dipucuk senyumnya, sudah mulai berjalan dengan si tua tak tau diri yang menggantungkan tanganya di pinggang kawanku yang indah, kini hidung belang berikutnya mendekatiku, berjalan seperti di garis cat walk  berbatu, tiada sapa hanya senyum yang semburat menyilaukan hatiku, baru kali ini aku mendapat pasien yang tak seperti biasanya berbau, bertubuh tambun yang menampung jutaan lemak, bahkan sudah berambut putih. Ah, aku tak peduli dengan fisik yang semacam itu, yang ku pedulikan hanya berapa rupiah ia berani mengajakku, sekilas khayalan itu hilang, seperti saat debu di meja riasku yang kadang mampir dan ku tiup.
Ffiuuuhh.
 saat dia menggenggam tanganku, lembut dan hangat-hangat kuku, kupandangi mulai dari genggaman tangan yang mengait tanganku, lalu kuajak mataku melihat tubuhnya yang lumayan bidang, rasanya ingin segera aku bersandar dalam peluknya, lalu kini bibirnya yang basah, hmm, bukan basah karna darah, alcohol namun karna jingga muda yang membalut secara alami.
Di pembaringan yang ia pesan untuk menikmati malam rajutan kami berdua, begitu empuk kurasa, aku diangkatnya dalam tangan bajanya dan diletakkanku di pembaringan, kusandarkan diriku di pundak lalu turun didada bidangnya, bau itu menyusup masuk kedalam rongga hidungku dan menuju lorong pipa-pipa berhenti di dermaga paru-parku, aroma tubuhnya, begitu damai dan teramat tentram, ia mulai menyentuh pipiku, dan tanganku, lalu hinggap menju bibirku, dan,
Lalu, lalu, lalu,
Lama. Ya, kurasa ini yang terlama begitu saling menikmati, meski tanpa kenal, bisa saling berbagi, meski tanpa kata bisa saling terucap. Aku mulai merapikan diri dan menyisir rambutku dengan keadaan masih berbusana sangat dan sangat mini ini, ia memelukku dari belakang, mencium pundakku dan aku ditariknya berhadapan, tangannya merogoh sakunya dan dikeluarkannya dompet kulit yang begitu indah dan terlihat mahal menurutku,
tujuh ratus lima puluh ribu rupiah, nilai yang begitu indah malam itu, kuterima dan ku masukkan kedalam dompet merah di sudut cermin. Tanganku terhenti saat ia merebut dompet merah dari tanganku dan mengambil foto mini yang terpampang disana. “ini siapa?” angin itu berhembus lagi, dan sangat terasa di rongga dadaku. Baru kali ini aku mendengar ia bicara, setelah berjam-jam bergelut dalam pembaringan. “dia putriku”.
Hanya diam yang ia perlihatkan, entah apa yang berputar dalam fikiranya, apa mungkin ia bertanya itu anak siapa? Apa kau punya suami? Atau ini anak . . .
“pulanglah, peluk putrimu, buai ia dalam rajuknya,   selembut tangan  jalang manja membelai lembut. Maaf”
Sebelum usai ku mengandai ia mematahka lamunanku, Ia keluarkan lagi isi dompetnya, dan memberi lembar demi lembar yang tak sempat kuhitung jumlahnya.
Aku tertegun saat ia pergi meninggalkanku tanpa wangi lagi, aku tersungkur dalam ucapanya, “jalang” apa aku ini wanita yang begitu hina? Aku merasa tersudut dan terisak dalam kata, yang mulai merasuki nadi, fikiran dan jantungku, sekelebat potret senyum manja putriku tergambar, isak tangisnya yang rindu padaku, karna hanya sedikit waktu yang kugunakan bersamanya, bagai kelelawar yang hanya bergerilya saat kelabu menjadi panggung pentasku. Ahh, aku jalang bukan?
 Yang terjerumus dalam kenikmatan dan dengan langkah ini aku mampu mengisi perut kecilnya dengan nasi, meski tak peduli pada agama, moral, bahkan dengan adat.


#biar rajutan jalang yang putih mengapus hitam.
Oleh : Nurul Inayah 

UPAYA REINTERPRETASI GENDER
By: Umi Hanik

Isu tentang gender telah menjadi bahasan analisis sosial, menjadi pokok bahasan dalam wacana perdebatan mengenai perubahan sosial dan juga menjadi topik utama dalam perbincangan mengenai pembangunan dan perubahan sosial.
Gender dipersoalkan karena secara sosial telah melahirkan perbedaan peran, tanggung jawab, hak dan fungsi serta ruang aktivitas laki-laki dan perempuan dalam masyarakat. Perbedaan tersebut akhirnya membuat masyarakat cenderung diskriminatif dan pilih-pilih perlakuan akan akses, partisipasi, serta kontrol untuk laki-laki dan perempuan.
Apa itu gender?
Untuk memahami konsep gender harus dibedakan kata gender dengan kata seks (jenis kelamin). Pengertian jenis kelamin merupakan pensifatan atau pembagian dua jenis kelamin manusia yan ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu. Misalnya, bahwa manusia jenis laki-laki adalah memiliki penis, memiliki jakala (kala menjing), dan memproduksi sperma. Sedangkan perempuan memiliki alat reproduksi seperti rahim dan saluran untuk melahirkan memproduksi ovum, memilki vagina, dan mempunyai alat-alat menyusui. Alat-alat tersebut secara biologis melekat pada perempuan dan laki-laki selamanya. Artinya secara biologis alat-alat tersebut tidak bisa dipertukarkan antara alat biologis yang melekat pada laki-laki dan perempuan yang juga permanen dan sering dikatakan sebagai ketentuan Tuhan atau kodrat.
Sedangkan konsep gender adalah suatu sifat yang melekat pada laki-laki dan perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural. Misalnya perempuan itu dikenal lemah lembut, cantik, emosional, atau keibuan. Sementara laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan, perkasa. Ciri dan sifat itu sendiri merupakan sifat-sifat yang dapat dipertukarkan. Artinya, ada laki-laki yang lemah lembut, keibuan, sementara ada juga perempuan yang kuat, rasional, perkasa. Perubahan ciri dan sifat itu dapat terjadi dari waktu ke waktu dan dari tempayt ke tempat yang lain. Semua hal yang dapat dipertukarkan antara sifat perempuan dan laki-laki, yang bisa berubah dari waktu ke waktu serta berbeda dari satu tempat ke tempat lainnya, maupun berbeda dari satu kelas ke kelas yang lain, itulah yang dikenal dengan konsep gender. (Mansour Fakih, 2006:8)
Sejarah perbedaan gender (gender different) antara laki-laki dan perempuan terjadi melalui proses yang sangat panjang. Oleh karena itu terbentuknya perbedaan-perbedaan gender dikarenakan oleh banyak hal, diantanranya dibentuk, disosiaisasikan, diperkuat, bahkan dikonstruksi secara sosial atau kultural, melalui ajaran keagamaan maupun negara. Melalui proses panjang, sosialisasi gender tersebut akhirnya dianggap menjadi ketentuan Tuhan-seolah-olah bersifat biologis yang tidak bisa dipertukarkan lagi, sehingga perbedaan-perbedaan gender dianggap dan dipahami sebagai kodrat laki-laki dan perempuan.
Perbedaan gender sesungguhnya tidak akan menjadi masalah sepanjang tidak melahirkan ketidakadilan gender (gender inequalities). Namun, yang menjadi persoalan, ternyata perbedaan gender telah melahirkan berbagai ketidakadilan, baik terhadap laki-laki maupun perempuan. Bentuk ketidakadilan gender termanifestasikan kedalam pelbagai bentuk ketidakadilan, yakni: marginalisasi atau proses pemiskinan ekonomi, subordinasi atau anggapan tidak penting dalam keputusan politik, pembentukan stereotip atau melalui pelabelan negatif, kekerasan (violence), beban kerja lebih panjang dan lebih banyak (double burden).
Gender dalam perspektif agama Islam
Berbicara mengenai gender, sama artinya dengan berbicara mengenai relasi antara laki-laki dengan perempuan. Begitu juga Islam sebagai agama rahmatan lil-alamin juga membahas dan menjelaskan tentang hak-hak antara laki-laki dan perempuan serta kemitrasejajaran antara keduanya. Dalam kaitannya dengan persoalan relasi anata perempuan dan laki-laki, prinsip dasar al-Qur’an sesungguhnya memperlihatkan pandangan yang egaliter (persamaan). Sejumlah ayat yang mengungkapkannya antara lain: Q.S. al-Hujurat (49): 13, Q.S. an-Nahl (16): 97, Q.S. at-Taubah (9): 71, Q.S. al-Ahzab (33): 35, juga didukung oleh sejumlah hadits yang menjelaskan tentang kesetaraan gender.
Al-Qur’an sebagai rujukan utama dan prinsip masyarakat Islam, pada dasarnya mengakui bahwa kedudukan kali-laki dan perempuan adalah sama. Keduanya diciptakan dari suatu nafs (living entity), dimana yang satu tidak memiliki unggulan terhadap yang lain. Bahkan al-Qur’an tidak menjelaskan secara tegas bahwa Hawa diciptakan dari tulang rusuk Nabi Adam sehingga kedudukan dan statusnya lebih rendah. Atas dasar itu, prinsip al-Qur’an terhadap kaum laki-laki dan perempuan adalah sama, dimana hak istri diakui sederajat dengan hak suami (Q.S. an-Nisa: 1). Dengan kata lain, laki-laki memiliki hak dan kewajiban terhadap perempuan dan sebaliknya perempuan juga memiliki hak dan kewajiban terhadap laki-laki.
Meskipun ada beberapa ayat yang dipahami sebagai bias gender. Misalnya pemahaman terhadap Q.S. an-Nisa (4): 34 yang diartikan sebagai laki-laki adalah pemimpin bagi perempuan. Pandangan yang menganggap bahwa laki-laki adalah superior dan perempuan adalah inferior tersebut, tidak berlaku umum dan mutlak. Artinya, tidak semua laki-laki lebih berkualitas dibanding perempuan.
Pemahaman keagamaan yang bias gender ini memang tidak mustahil adanya karena interpretasi terhadap ajaran agama sangat dipengaruhi oleh pemahaman, penafsiran, dan pemikiran penafsirnya (mufassir) yang erat kaitannya dengan latar belakang sosio-kulturnya yang melingkupi mufassir tersebut.
Pengarusutamaan Gender
Beberapa tahun ini sering terdengar oleh kita gembar-gembor istilah pengarusutamaan gender atau gender mainstreaming dalam berbagai isu pembangunan. Gerakan yang disingkat PUG (Pengarus-Utamaan Gender) berdasar Instruksi Presiden No. 9 Thn. 2000 ini bertujuan agar pelaksanaan program-program pembangunan dapat mempertimbangkan kesempatan dan akses perempuan terhadap program pembangunan yaitu terciptanya kendali serta manfaat bagi perempuan. Strategi gender mainstreaming ini harus diterapkan diseluruh proses pembangunan dengan mempertimbangkan laki-laki dan perempuan yang responsif gender. Upaya pemberdayaan perempuan untuk meningkatkan peran dan tanggung jawabnya sebagai pendukung gender mainstreaming dalam kebijakan pembangunan yang sedang marak diaplikasikan oleh pemerintah berimplementasi pula pada keharusan kedudukan perempuan minimal 30% pada posisi legislatif. Cukup memberi applause bagi para pejuang feminis bahwa wacana kesetaraan gender ini sudah memasuki area kebijakan.
Benar yang dikatakan oleh Moser (1989) dalam Gender Planning in the Third Word bahwa jika ingin meraih kesetaraan gender perubahan itu perlu sampai ke akar sistem yaitu, “penghapusan pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin, pengurangan beban pekerjaan rumah tangga dan pengurusan anak, penghapusan bentuk-bentuk diskriminasi yang melembaga, pemapanan keadilan politik, kebebasan memilih dalam pengasuhan anak, dan mengambil langkah-langkah yang memadai untuk melawan kekerasan laki-laki dan kontrol atas perempuan”. Seandainya itu menjadi petisi yang dikeluarkan bagi perempuan dan laki-laki di Indonesia, alangkah manisnya. Pembangunan maju, masa depan generasi mendatang terjamin.