Jumat, 22 Juni 2012

Menakar dikotomi perempuan dan pria

Oleh : izadatul hasanah

Tinggi rendahnya tingkat kemajuan suatu masyarakat ditetapkan oleh tinggi rendahnya tingkat kedudukan wanita di dalam masyarakat (Charles fourrier)
Dalam kehidupan di Indonesia, khususnya masyarakat Jawa masih terngiang keras bahwa keberadaan wanita berada di bawah pria, wanita dijadikan sebagai manusia kelas kedua (the second sex). Adanya ungkapan ‘di balik pria  sukses/hebat terdapat wanita (istri) yang hebat’ memiliki arti tersirat bahwa wanita selalu berada di belakang pria. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat dikotomi dalam bidang pekerjaan antara wanita dan pria, dan sangat terlihat jelas. Wanita harus mengurusi masalah dapur sedangkan pria mengurus hal yang berkenaan dengan publik. Sungguh ironis memang, masih terdapat pengkotakkan pekerjaan berdasarkan jenis kelamin. Dalam pekerjaan di lapangan, praktik dikotomi antara perempuan dan pria juga masih berkembang. Sama-sama bekerja di perusahaan X, namun gaji yang diterima antara karyawan pria dengan wanita terdapat perbedaan. Pasalnya, seorang wanita yang notabenenya adalah istri dari pria masih berada dalam tanggungan si pria. Mereka beranggapan bahwa gaji yang diterima wanita hanya sebagai uang tambahan dalam rumah tangga.
Para aktivis organisasi telah banyak menggemborkan kesetaraan antara pria dan wanita. Namun, mereka seringkali terjebak dalam sistem dikotomi yang mereka ciptakan sendiri. Banyak sekali organisasi-organisasi besar yang memiliki underbow khusus bagi para perempuan. Di satu sisi terdapat kelebihan dalam sistem semacam ini, para perempuan memiliki wadah untuk mengeksplorasikan pemikirannya tanpa dicampuri oleh kaum adam. Di sisi lain, terdapat sebuah eklusivisme yang dibangun berdasarkan jenis kelamin. Para aktivis perempuan seakan telah dibatasi ranah kepemimpinannya sebatas underbow suatu organisasi. Sedangkan organisasi utama tetap dikuasai dan dikendalikan oleh pria. Ketersediaan underbrow yang khusus digeluti oleh kaum hawa tersebut dianggap sebagai pemberian dari organisasi (yang dikuasai oleh) pria. Hal tersebut justru memberikan asumsi bahwa perempuan tidak akan mampu bersaing dengan pria, sekalipun dalam satu organisasi. Berdasarkan keadaan ini, perlu dicermati urgensitas underbow yang marak diisi oleh kegiatan kaum perempuan. Apakah pembentukannya benar-benar menjadi kebutuhan organisasi atau hanya menjadi pelarian kaum perempuan yang tidak sanggup bersaing dalam organisasi utama.



Perempuan lebih hebat
Pada dasarnya perempuan dapat bersaing dengan pria secara seimbang. Tidak hanya dalam masalah rumah tangga, perempuan pun dapat berperan dalam masalah publik. Bahkan dalam beberapa aspek, sebenarnya perempuan jauh lebih hebat dari laki-laki. Menurut Professor Tom Kirkwood dari Newcastle University, secara genetis sel-sel perempuan lebih mudah melakukan perbaikan daripada pria. Sel-sel pada pria lebih rendah tingkatannya dalam memperbaiki sel sehingga lebih cepat rusak. Hal ini dapat mengindikasikan bahwa waktu hidup perempuan lebih lama dibanding dengan pria.
Perempuan ternyata memiliki kekebalan tubuh yang kuat. Hal ini dikarenakan adanya hormon estrogen yang melimpah pada tubuh perempuan.  Selain itu, kaum hawa memiliki kepekaan emosi yang lebih baik dari pada pria. Apabila terdapat seseorang yang membutuhkan pertolongan, perempuan akan tersentuh hatinya dengan mudah. Jiwa sosial yang kuat dimiliki oleh seorang perempuan menjadi nilai positif dalam menunjang kehidupan bermasyarakat.
Pada perempuan-perempuan di bumi nusantara ini, setidaknya dapat memanfaatkan kelebihan yang dimiliki dengan semaksimal mungkin karena kemajuan suatu masyarakat ditentukan oleh kedudukan wanita dalam masyarakat tersebut. Bagimanapun, kiprah seorang wanita sangat menentukan arah pergerakan suatu masyarakat.

1 komentar:

  1. Mantab!!
    sebetulnya dalam gugatan ada penegasan yang tersirat 'Aku ingin merdeka, karena aku masih terkekang!'.
    Hemat saya, gugatan perempuan akan lebih indah berdasarkan kasuistik yang sedang menimpa perempuan, bukan menjadi wacana abadi karena ini menyebabkan stereotip terhadap perempuan.

    'Siapa Risya?' bila setiap orang menjawab 'Kader PMII', maka Risya akan dikenal sebagai kader PMII, begitu juga perempuan bila terus-terusan dikaitkan dengan ketidakadilan, maka perempuan akan dikenal dengan stigma itu.

    ceritakanlah kisah perempuan dengan kebanggaan yang membahagiakan. sekian:-)

    BalasHapus