Senin, 29 Oktober 2012

Opini (Defensa)


Stop Eksploitasi Anak
By: Ilmi Alifia


Anak merupakan anugrah dari Tuhan yang maha Esa. Keberadaannya akan meneruskan spesies manusia di bumi ini. Akan tetapi, tak jarang ditemui anak yang diperlakukan secara tidak manusiawi. Memperkerjakan anak, atau menyuruh anak untuk bekerja, sebagai contohnya.
Eksploitasi terhadap anak bukan merupakan hal baru di era sekarang ini. Sering kali dijumpai anak-anak yang dimanfaatkan untuk bekerja di jalanan, dari menjual Koran, mengamen, sampai meminta-minta. Padahal, secara psikologis usia kanak-kanak merupakan saat untuk belajar dan bermain, bukan untuk mencari nafkah.
Alasan ekonomi sering kali menjadi alasan mengapa anak terjun langsung untuk mencari uang. Tidak hanya itu, tidak jarang pula pengemis yang sengaja membawa anak di bawah umur untuk menarik simpati dari orang yang melihatnya.Hal ini menyebabkan eksploitasi secara ekonomi terhadap anak menjadi hal yang lumrah.
Peran Pemerintah
Secara normatif, hak anak untuk mendapatkan perlindungan telah dijamin oleh Negara melalui UU Perlindungan Anak  (UU PA) Nomor 23 tahun 2002. Pasal 13 menyebutkan bahwa anak yang masih dalam pengasuhan orang tua atau wali berhak mendapatkan perlindungan dari perlakuan diskriminasi, eksploitasi ekonomi maupun seksual, penelantaran, kekerasan dan ketidakadilan.
Namun, kenyataannya kini banyak kasus mengenai penelantaran anak. Menurut penuturan Menteri Sosial, Salim Segaf Al-Jufri, jumlah anak terlantar di Indonesia mencapai 4,5 juta anak,tersebar diberbagai daerah. Pemerintah melalui Kementrian Sosial sudah menyediakan dana sebesar 281 miliar rupiah (Psikologi Zone). Dana yang disediakan dengan jumalah anak yang harus diselamatkan sangat tidak seimbang. Dengan 281 miliar, hanya cukup untuk menangani 175 ribu anak, tak lebih dari 1%. Lantas, bagaimana dengan nasib anak yang lain?
Melihat realita tersebut, pemerintah seharusnya lebih peka. Eksploitasi anak merupakan masalah yang serius mengingat anak adalah calon penerus bangsa. Jika sejak masa kanak sudah ditelantarkan, bisa dibayangkan bagaimana hancurnya masa depan bangsa ini. Jika amanat dalam UU PA dilaksanakan, tentunya masalah ini akan bias teratasi. Anggaran untuk penanganan terhadap anak terlantar harus ditambah secara signifikan. Dengan dana tersebut, pemerintah bisa memberikan sarana belajar dan berlatih untuk anak. Disana, anak dapat belajar sekaligus berlatih keterampilan tertentu.
Walaupun tidak semua anak akan bersedia untuk meninggalkan pekerjaannya, setidaknya dengan sarana gratis, sebagian besar anak akan meningkat kualitasnya. Anak tidak harus turun langsung  ke jalanan yang rentan akan tindak kriminal. Dengan demikian, diharapkan kemampuan survival anak menjadi lebih baik. Orang tua juga tidak perlu khawatir mengeluarkan uang karena semua biaya ditanggung oleh pemerintah.
Selain itu, peran masyarakat juga sangat diperlukan. Dalam hal ini, kesadaran dan kepekaan sosial harus ditingkatkan. Masyarakat seharusnya tidak berdiam diri ketika melihat fenomena eksploitasi anak ini. Menyisihkan sebagian hartanya untuk membantu sesama diharapkan dapat dilakukan oleh semua pihak. Apalagi, masyarakat Indonesia yang dalam sejarah selalu dicitrakan sebagai masyarakat yang egaliter. Pancasila, sebagai dasar Negara juga menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Jangan sampai hal-hal tersebut hanya selesesai pada taraf normatif saja, tanpa ada implementasinya dalam kehidupan sekarang ini.

ANAK BUKAN BUDAK
By: Minna Miraccle

Anak, menurut Undang-undang Perlindungan Anak (UU PA) nomor 23 Tahun 2002 dan Konvensi Hak Anak (KHA), manusia berumur 18 tahun termasuk yang di dalam kandungan. Secara psikologis, masa anak merupakan masa manusia belajar dan bermain. Akan tetapi, sekarang ini banyak anak yang terpaksa atau dipaksa untuk mencari nafkah. Hal ini tentu merupakan ketidakwajaran dimana seseorang yang belum pantas untuk bekerja, harus melaksanakan tugas dari orang dewasa. Hal ini sudah masuk pada kasus eksploitasi anak secara ekonomi.
Ironisnya, banyak orang tua yang tidak melarang anaknya bekerja. Bahkan, orang tualah yang menyuruh anak untuk mencari uang di jalanan. Namun demikian, tidak sepantasnya anak yang masih di bawah umur bekerja dalam bentuk apapun.
Dalam UU PA disebutkan bahwa anak berhak mendapat perlindungan dari eksploitasi ekonomi maupun seksual serata dari kekerasan. Oleh karena itu, pemerintah harus bertindak konstitusional dengan memberikan perlindungan terhadap anak. Selain itu, kesadaran masyarakat akan hal ini perlu ditingkatkan. Dengan demikian, diharapkan eksploitasi terhadap anak tidak akan terjadi.

Optimalisasi UUPA


Optimalisasi UU Perlindungan Anak
By: Ana dan Elly
Eksploitasi terhadap anak seperti penjualan, prostitusi, pornografi anak dan lainnya telah menjamur di Indonesia. Bahkan, Indonesia merupakan salah satu pemasok perdagangan anak terbesar di wilayah Asia Tenggara. Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Linda Amalia Sari Gumelar mengatakan terdapat lebih dari seratus ribu perempuan dan anak menjadi korban perdagangan manusia. Sejalan dengan hal tersebut, berdasarkan data Polri tahun 2011, Linda menyebutkan ada 126 kasus yang melibatkan 68 korban berusia anak, 63 diantaranya berjenis kelamin perempuan. “Berbagai data tersebut hanya sebagian kecil kasus yang dapat diketahui. Saya yakin sesungguhnya kasus eksploitasi anak lebih besar lagi jumlahnya,” tegasnya. (www.hukumonline.com)
Pada enam bulan awal di tahun 2012 kekerasan terhadap anak untuk kasus eksploitasi seks dan pornografi anak mengalami peningkatan sangat tajam. Berdasarkan data Komisi Nasional Perlindungan Anak menunjukkan ada peningkatan 38 persen atau 466 kasus. “Komnas Perlindungan Anak sudah menerima 686 laporan kasus kekerasan terhadap anak dalam satu semester 2012 ini, dengan pengaduan kurang lebih 100 pengaduan pelanggaran terhadap hak anak setiap bulannya,” tutur Arist Merdeka Sirait, Sekretaris Jendral Komisi Nasional Perlindungan Anak ketika membuka Kongres Anak Indonesia ke XI di hotel Golden View, Bengkong, Batam. (batam.tribunnews.com)
Dari beberapa kasus Eksploitasi Seksual Komersial Anak (ESKA), sebagian besar korban adalah anak-anak sekolah menengah. Di Semarang, Jawa Tengah, berdasarkan data yang diperoleh dari IPEC-ILO sekitar 43,6% dari Pekerja Seks Komersial (PSK) masuk dalam kategori umur anak-anak, yakni berusia di bawah 18 tahun. (www.gugustugastrafficking.org)
Hal senada juga diungkapkan oleh salah satu lembaga kemasyarakatan, Children Crisis Center (CCC) Lampung bahwa anak yang berusia antara 16-17 tahun makin rentan menjadi korban ESKA. “Selama kami melakukan pendampingan terhadap anak-anak korban ESKA, usia 14 tahun menempati posisi terendah dalam eksploitasi anak yakni hanya tujuh persen, disusul usia 15 tahun dengan 25%, usia 16 tahun dengan 32%, dan terakhir dengan jumlah tertinggi usia 17 tahun sebanyak 36%,” jelas Murti Rahayu, Ketua Harian CCC Lampung.
Maraknya kasus-kasus ESKA tersebut karena ada faktor-faktor yang mendukungnya. Berdasarkan berbagai hasil penelitian dan pengalaman program penanganan terhadap anak-anak terpinggirkan, termasuk anak yang menjadi korban ESKA, sebagian besar memiliki  latar belakang keluarga dengan kondisi ekonomi yang rendah. Pada umumnya, korban ESKA tidak dipandang masih berstatus pelajar atau sudah putus sekolah. “Dari 130 anak yang kami dampingi, terdapat 81 orang atau 62% anak yang putus sekolah, sedangkan anak yang masih bersekolah mencapai 49 orang atau 38%.” ungkap Murti.
Lebih lanjut, ia mengatakan bahwa mayoritas  mereka berasal dari keluarga yang kurang mampu, sehingga tidak dapat melanjutkan pendidikan. Faktor ekonomi itulah yang menyebabkan anak menjadi korban ESKA. Meskipun ada faktor-faktor pendukung lain yang mempengaruhinya, seperti status pendidikan yang rendah, keluarga yang pecah, gaya hidup, dan perilaku seks bebas. (www.metrotvnews.com)
Implementasi UU
Menyikapi kasus-kasus eksploitasi terhadap anak yang semakin mewabah, maka pemerintah Indonesia tidak mungkin hanya diam berpangku tangan. Sebenarnya Indonesia sudah memiliki Undang-Undang (UU) No.23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan UU No.21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Akan tetapi, kedua UU tersebut tidak memberikan porsi yang tinggi untuk pemberantasan seksual anak. Menurut Linda selaku Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, meskipun undang-undang itu mengatur soal perlindungan anak, namun undang-undang tersebut tidak mengatur secara spesifik pelarangan berhubungan seksual dengan anak-anak dan tidak mengatur pornografi anak. (www.hukumonline.com)
Akhirnya, pada 26 Juni 2012 Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengesahkan UU tentang Ratifikasi Protokol Opsional Konvensi Hak-Hak Anak mengenai Penjualan Anak, Prostitusi Anak, dan Pornografi Anak. Protokol tersebut merupakan salah satu konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang telah ditandatangani oleh Indonesia sejak 24 September 2001 pada sidang umum PBB ke-55. Ini merupakan langkah penting bagi Indonesia dalam pemberantasan perdagangan anak untuk prostitusi. “Konvensi tersebut memberikan porsi yang sangat besar untuk mengkriminalisasi siapapun yang memfasilitasi anak-anak untuk dijadikan objek seks atau bisnis seks,” tutur Ahmad Sofian, koordinator ECPAT (End Child Prostitution, Child Pornography, and Trafficking of Children for Sexual Purpose) Indonesia. (www.perspektifbaru.com)
Sejauh ini pemerintah telah melakukan berbagai macam upaya mulai dari pengembangan kerangka legislasi nasional, penguatan kelembagaan dan peningkatan koordinasi. Terkait peraturan perlindungan anak, pemerintah sudah menerbitkan berbagai regulasi seperti Perpres No. 69 Tahun 2008 tentang Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang, PP No. 40 Tahun 2011 tentang Pembinaan, Pendampingan dan Pemulihan Terhadap Anak yang Menjadi Korban atau Pelaku Pornografi,” ungkap Linda.
Peraturan lain lahir dari Permenkokesra No. 25 Tahun 2009 tentang Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dan Eksploitasi Seksual Anak. Selain itu, di tahun 2012 pemerintah membentuk gugus tugas penghapusan tindak pidana perdagangan orang di 25 provinsi dan 77 kabupaten/kota. Ida Fauziyah, Ketua Komisi VIII DPR mengatakan bahwa pemerintah harus mensinergiskan sejumlah peraturan perundang-undangan tersebut agar selaras dengan Protokol Opsional Konvensi Hak-Hak Anak. Dengan demikian, amanat protokol tersebut dapat terimplementasikan.
Akan tetapi, untuk menjalankan amanat tersebut diperlukan dukungan dan kerjasama dari berbagai pihak. "Tak hanya itu, peran serta masyarakat umum yang mengetahui adanya kejadian perdagangan, prostitusi dan pornografi anak ini juga harus aktif membantu pemerintah mengatasinya dengan melapor pada polisi," harap Ida. (www.hukumonline.com)
Sedangkan menurut Ahmad Sofian, langkah pertama yang harus dilakukan oleh pemerintah secara administrasi adalah secepatnya memberi nomor UU tentang ratifikasi protokol tersebut supaya bisa diaktifkan oleh Sekretariat Negara dan diumumkan kepada publik, sehingga menjadi UU secara nasional. Setelah itu pemerintah dan DPR secepatnya melakukan amandemen terhadap UU yang belum memasukkan mengenai ketentuan mengkriminalisasi pelaku eksploitasi anak, terutama UU No.23 tahun 2002. Seharusnya hal tersebut dimasukkan ke dalam rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) karena KUHP menjadi panduan bagi semua penegak hukum. “Jika tidak masuk dalam KUHP maka UU kita akan menjadi lemah dalam memberantas perdagangan anak dan eksploitasi seks terhadap anak,” tambahnya. (www.perspektifbaru.com)