Optimalisasi
UU Perlindungan Anak
By: Ana dan Elly
Eksploitasi terhadap anak seperti penjualan, prostitusi, pornografi anak
dan lainnya telah menjamur di Indonesia. Bahkan, Indonesia merupakan salah satu
pemasok perdagangan anak terbesar di wilayah Asia Tenggara. Menteri
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Linda Amalia Sari Gumelar mengatakan terdapat lebih dari
seratus ribu perempuan dan anak menjadi korban perdagangan manusia. Sejalan dengan hal tersebut, berdasarkan data Polri
tahun 2011, Linda menyebutkan ada 126 kasus yang melibatkan 68 korban berusia
anak, 63 diantaranya berjenis kelamin perempuan. “Berbagai data tersebut hanya
sebagian kecil kasus yang dapat diketahui. Saya yakin sesungguhnya kasus
eksploitasi anak lebih besar lagi jumlahnya,” tegasnya. (www.hukumonline.com)
Pada enam bulan awal di tahun 2012 kekerasan terhadap anak untuk kasus
eksploitasi seks dan pornografi anak mengalami peningkatan sangat tajam.
Berdasarkan data Komisi Nasional Perlindungan Anak menunjukkan ada peningkatan
38 persen atau 466 kasus. “Komnas Perlindungan Anak sudah menerima 686 laporan
kasus kekerasan terhadap anak dalam satu semester 2012 ini, dengan pengaduan
kurang lebih 100 pengaduan pelanggaran terhadap hak anak setiap bulannya,”
tutur Arist Merdeka Sirait, Sekretaris Jendral Komisi Nasional Perlindungan
Anak ketika membuka Kongres Anak Indonesia ke XI di hotel Golden View,
Bengkong, Batam. (batam.tribunnews.com)
Dari beberapa kasus Eksploitasi Seksual Komersial Anak (ESKA), sebagian
besar korban adalah anak-anak sekolah menengah. Di Semarang, Jawa Tengah, berdasarkan data yang diperoleh dari IPEC-ILO sekitar 43,6% dari Pekerja
Seks Komersial (PSK) masuk dalam kategori umur anak-anak, yakni berusia di
bawah 18 tahun. (www.gugustugastrafficking.org)
Hal senada juga diungkapkan oleh salah satu lembaga kemasyarakatan, Children Crisis Center (CCC) Lampung bahwa anak yang berusia antara 16-17 tahun makin rentan menjadi
korban ESKA. “Selama kami melakukan pendampingan terhadap anak-anak korban ESKA, usia 14 tahun menempati posisi
terendah dalam eksploitasi anak yakni hanya tujuh persen, disusul usia 15 tahun dengan 25%, usia 16 tahun dengan 32%, dan terakhir
dengan jumlah tertinggi usia 17 tahun sebanyak 36%,” jelas Murti Rahayu, Ketua Harian
CCC Lampung.
Maraknya
kasus-kasus ESKA tersebut karena ada faktor-faktor yang mendukungnya. Berdasarkan berbagai hasil penelitian dan pengalaman
program penanganan terhadap anak-anak terpinggirkan, termasuk anak yang menjadi
korban ESKA, sebagian besar memiliki latar belakang keluarga dengan
kondisi ekonomi yang rendah. Pada umumnya, korban
ESKA tidak dipandang masih berstatus pelajar atau sudah putus sekolah. “Dari
130 anak yang kami dampingi, terdapat 81 orang atau 62% anak yang putus
sekolah, sedangkan
anak yang masih bersekolah mencapai 49 orang atau 38%.” ungkap Murti.
Lebih
lanjut, ia mengatakan bahwa mayoritas mereka berasal dari keluarga yang kurang
mampu, sehingga tidak dapat melanjutkan pendidikan. Faktor ekonomi itulah yang menyebabkan anak menjadi korban ESKA. Meskipun ada
faktor-faktor pendukung lain yang mempengaruhinya, seperti status
pendidikan yang rendah, keluarga yang pecah, gaya hidup, dan perilaku seks
bebas. (www.metrotvnews.com)
Implementasi
UU
Menyikapi kasus-kasus
eksploitasi terhadap anak yang semakin mewabah, maka pemerintah Indonesia tidak
mungkin hanya diam berpangku tangan. Sebenarnya Indonesia sudah memiliki Undang-Undang (UU) No.23 tahun 2002
tentang Perlindungan Anak dan UU No.21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Perdagangan Orang. Akan tetapi, kedua UU
tersebut tidak memberikan porsi yang tinggi untuk pemberantasan seksual anak. Menurut Linda selaku Menteri
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak,
meskipun undang-undang itu mengatur soal
perlindungan anak, namun undang-undang
tersebut tidak mengatur secara spesifik pelarangan berhubungan seksual dengan
anak-anak dan tidak mengatur pornografi anak.
(www.hukumonline.com)
Akhirnya, pada
26 Juni 2012 Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengesahkan UU tentang Ratifikasi
Protokol Opsional Konvensi Hak-Hak Anak mengenai Penjualan Anak, Prostitusi
Anak, dan Pornografi Anak. Protokol tersebut merupakan salah satu konvensi
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang telah ditandatangani oleh Indonesia sejak
24 September 2001 pada sidang umum PBB ke-55. Ini
merupakan langkah penting bagi Indonesia dalam pemberantasan perdagangan anak
untuk prostitusi. “Konvensi
tersebut memberikan porsi yang sangat besar untuk mengkriminalisasi siapapun
yang memfasilitasi anak-anak untuk dijadikan objek seks atau bisnis seks,”
tutur Ahmad Sofian, koordinator
ECPAT (End Child Prostitution,
Child Pornography, and Trafficking
of Children for Sexual Purpose) Indonesia. (www.perspektifbaru.com)
Sejauh ini pemerintah telah melakukan berbagai
macam upaya mulai dari pengembangan kerangka legislasi nasional, penguatan
kelembagaan dan peningkatan koordinasi. “Terkait
peraturan perlindungan anak, pemerintah
sudah menerbitkan berbagai regulasi seperti Perpres No. 69 Tahun 2008 tentang
Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang, PP No. 40 Tahun 2011
tentang Pembinaan, Pendampingan dan Pemulihan Terhadap Anak yang Menjadi Korban
atau Pelaku Pornografi,” ungkap Linda.
Peraturan
lain lahir dari Permenkokesra
No. 25 Tahun 2009 tentang Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Tindak Pidana
Perdagangan Orang dan Eksploitasi Seksual Anak. Selain itu, di tahun 2012 pemerintah
membentuk gugus tugas penghapusan tindak pidana perdagangan orang di 25 provinsi
dan 77 kabupaten/kota. Ida
Fauziyah, Ketua Komisi VIII DPR
mengatakan bahwa pemerintah
harus mensinergiskan sejumlah
peraturan perundang-undangan tersebut
agar selaras dengan Protokol
Opsional Konvensi Hak-Hak Anak. Dengan demikian, amanat protokol tersebut
dapat terimplementasikan.
Akan tetapi, untuk menjalankan amanat tersebut diperlukan dukungan dan
kerjasama dari berbagai pihak. "Tak hanya itu, peran serta masyarakat umum
yang mengetahui adanya kejadian perdagangan, prostitusi dan pornografi anak ini
juga harus aktif membantu pemerintah mengatasinya dengan melapor pada
polisi," harap Ida. (www.hukumonline.com)
Sedangkan
menurut Ahmad Sofian, langkah pertama yang harus dilakukan oleh pemerintah
secara administrasi adalah secepatnya memberi nomor UU tentang ratifikasi protokol
tersebut supaya bisa diaktifkan oleh Sekretariat Negara dan diumumkan kepada
publik, sehingga menjadi UU secara nasional. Setelah itu pemerintah dan DPR
secepatnya melakukan amandemen terhadap UU yang belum memasukkan mengenai ketentuan
mengkriminalisasi pelaku eksploitasi anak, terutama UU No.23 tahun 2002.
Seharusnya hal tersebut dimasukkan ke dalam rancangan Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP) karena KUHP menjadi panduan bagi semua penegak hukum. “Jika tidak
masuk dalam KUHP maka UU kita akan menjadi lemah dalam memberantas perdagangan
anak dan eksploitasi seks terhadap anak,” tambahnya. (www.perspektifbaru.com)