Aku jalang, bukan?
Oleh: Inayah Az Zahra (teratai salju)
Merah gincu yang merona,
semerah darah yang segar baru mengalir, menetesi bibir mungil nan sedikit tebal
yang kerap dilumat, dan di kecap oleh bibir lain yang terkadang beraroma rokok,
alcohol bahkan terkadang dilumat oleh si bibir yang ujungnya berkulit kering,
dan sedikit berdarah. Alis mata yang menukik bagai elang yang turun terjun
menghunus tatanan mega kelabu, bergaris hitam, coklat, bahkan tosca. Tubuh yang
mulus, halus selembut sutra, dan secerah permata menghiasi mahkota ratu
inggris, namun kadang biru lebam terlukis membentuk rasa sakit dan nyeri yang
sangat bila tersentuh.
Seperti biasa, ujung renda
masih terasa dingin dan menyapa kelam menyeruak sukma, hilir angin yang
terhembus mengibas-ibaskan dahan kering menjadikan suara kemresek gesekan-gesekan lembut, dan terkadang mencuri waktu untuk
mengibaskan rambutku yang sebahu hitam pekat bagai tinta hitam yang lumer
tertumpah.
tak beda dengan yang lain,
aku sudah berdiri dengan tubuhku yang begitu indah dalam balutan kaus berwarna
merah jambu gantung yang terlihat pundak dan ketiak yang sedikit basah, dan
celana pendek dibawah pinggang yang membentuk indah bagian dari diriku, dan
kulihat, beberapa kawanku yang lain yang tak jauh beda dengan tampilanku, hanya
sedikit lebih merona bedak tertabur di pipi mereka, sudah mendapatkan pemangsa
berikutnya.
Malam ini, aku dibasahi
parfum penuh pesona yang dalam, dan bahkan dalamnya dapat menenggelamkan, bila
terhirup oleh si hidung belang mungkin saja ia tak pernah bisa lepas dari
gelayutannya, menggantung di awang-awang, mendayu lembut membelai kumis mereka,
di tiap helai rambutnya. Baru selang beberapa menit saja setelah kawanku yang
berada disampingku yang sedari tadi melambai-lambaikan tanganya dan menuaikan
mutiara dipucuk senyumnya, sudah mulai berjalan dengan si tua tak tau diri yang
menggantungkan tanganya di pinggang kawanku yang indah, kini hidung belang
berikutnya mendekatiku, berjalan seperti di garis cat walk berbatu, tiada sapa
hanya senyum yang semburat menyilaukan hatiku, baru kali ini aku mendapat
pasien yang tak seperti biasanya berbau, bertubuh tambun yang menampung jutaan
lemak, bahkan sudah berambut putih. Ah, aku tak peduli dengan fisik yang
semacam itu, yang ku pedulikan hanya berapa rupiah ia berani mengajakku,
sekilas khayalan itu hilang, seperti saat debu di meja riasku yang kadang
mampir dan ku tiup.
Ffiuuuhh.
saat dia menggenggam tanganku, lembut dan
hangat-hangat kuku, kupandangi mulai dari genggaman tangan yang mengait
tanganku, lalu kuajak mataku melihat tubuhnya yang lumayan bidang, rasanya
ingin segera aku bersandar dalam peluknya, lalu kini bibirnya yang basah, hmm,
bukan basah karna darah, alcohol namun karna jingga muda yang membalut secara
alami.
Di pembaringan yang ia
pesan untuk menikmati malam rajutan kami berdua, begitu empuk kurasa, aku
diangkatnya dalam tangan bajanya dan diletakkanku di pembaringan, kusandarkan
diriku di pundak lalu turun didada bidangnya, bau itu menyusup masuk kedalam
rongga hidungku dan menuju lorong pipa-pipa berhenti di dermaga paru-parku,
aroma tubuhnya, begitu damai dan teramat tentram, ia mulai menyentuh pipiku,
dan tanganku, lalu hinggap menju bibirku, dan,
Lalu, lalu, lalu,
Lama. Ya, kurasa ini yang
terlama begitu saling menikmati, meski tanpa kenal, bisa saling berbagi, meski
tanpa kata bisa saling terucap. Aku mulai merapikan diri dan menyisir rambutku
dengan keadaan masih berbusana sangat dan sangat mini ini, ia memelukku dari
belakang, mencium pundakku dan aku ditariknya berhadapan, tangannya merogoh
sakunya dan dikeluarkannya dompet kulit yang begitu indah dan terlihat mahal
menurutku,
tujuh ratus lima puluh ribu rupiah, nilai yang begitu indah malam itu, kuterima
dan ku masukkan kedalam dompet merah di sudut cermin. Tanganku terhenti saat ia
merebut dompet merah dari tanganku dan mengambil foto mini yang terpampang
disana. “ini siapa?” angin itu berhembus lagi, dan sangat terasa di rongga
dadaku. Baru kali ini aku mendengar ia bicara, setelah berjam-jam bergelut dalam pembaringan. “dia
putriku”.
Hanya diam yang ia
perlihatkan, entah apa yang berputar dalam fikiranya, apa mungkin ia bertanya
itu anak siapa? Apa kau punya suami? Atau ini anak . . .
“pulanglah, peluk putrimu,
buai ia dalam rajuknya, selembut
tangan jalang manja membelai lembut.
Maaf”
Sebelum usai ku mengandai
ia mematahka lamunanku, Ia keluarkan lagi isi dompetnya, dan memberi lembar
demi lembar yang tak sempat kuhitung jumlahnya.
Aku tertegun saat ia pergi
meninggalkanku tanpa wangi lagi, aku tersungkur dalam ucapanya, “jalang” apa
aku ini wanita yang begitu hina? Aku merasa tersudut dan terisak dalam kata, yang
mulai merasuki nadi, fikiran dan jantungku, sekelebat potret senyum manja
putriku tergambar, isak tangisnya yang rindu padaku, karna hanya sedikit waktu
yang kugunakan bersamanya, bagai kelelawar yang hanya bergerilya saat kelabu
menjadi panggung pentasku. Ahh, aku jalang bukan?
Yang terjerumus dalam kenikmatan dan dengan
langkah ini aku mampu mengisi perut kecilnya dengan nasi, meski tak peduli pada
agama, moral, bahkan dengan adat.
#biar rajutan jalang yang putih mengapus
hitam.
Oleh : Nurul Inayah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar