UPAYA REINTERPRETASI GENDER
By: Umi Hanik
Isu tentang
gender telah menjadi bahasan analisis sosial, menjadi pokok bahasan dalam
wacana perdebatan mengenai perubahan sosial dan juga menjadi topik utama dalam
perbincangan mengenai pembangunan dan perubahan sosial.
Gender
dipersoalkan karena secara sosial telah melahirkan perbedaan peran, tanggung
jawab, hak dan fungsi serta ruang aktivitas laki-laki dan perempuan dalam
masyarakat. Perbedaan tersebut akhirnya membuat masyarakat cenderung
diskriminatif dan pilih-pilih perlakuan akan akses, partisipasi, serta kontrol
untuk laki-laki dan perempuan.
Apa itu
gender?
Untuk
memahami konsep gender harus dibedakan kata gender dengan kata seks
(jenis kelamin). Pengertian jenis kelamin merupakan pensifatan atau pembagian
dua jenis kelamin manusia yan ditentukan secara biologis yang melekat pada
jenis kelamin tertentu. Misalnya, bahwa manusia jenis laki-laki adalah memiliki
penis, memiliki jakala (kala menjing), dan memproduksi sperma. Sedangkan
perempuan memiliki alat reproduksi seperti rahim dan saluran untuk melahirkan
memproduksi ovum, memilki vagina, dan mempunyai alat-alat menyusui. Alat-alat
tersebut secara biologis melekat pada perempuan dan laki-laki selamanya.
Artinya secara biologis alat-alat tersebut tidak bisa dipertukarkan antara alat
biologis yang melekat pada laki-laki dan perempuan yang juga permanen dan
sering dikatakan sebagai ketentuan Tuhan atau kodrat.
Sedangkan
konsep gender adalah suatu sifat yang melekat pada laki-laki dan perempuan yang
dikonstruksi secara sosial maupun kultural. Misalnya perempuan itu dikenal
lemah lembut, cantik, emosional, atau keibuan. Sementara laki-laki dianggap
kuat, rasional, jantan, perkasa. Ciri dan sifat itu sendiri merupakan sifat-sifat
yang dapat dipertukarkan. Artinya, ada laki-laki yang lemah lembut, keibuan, sementara
ada juga perempuan yang kuat, rasional, perkasa. Perubahan ciri dan sifat itu
dapat terjadi dari waktu ke waktu dan dari tempayt ke tempat yang lain. Semua
hal yang dapat dipertukarkan antara sifat perempuan dan laki-laki, yang bisa
berubah dari waktu ke waktu serta berbeda dari satu tempat ke tempat lainnya,
maupun berbeda dari satu kelas ke kelas yang lain, itulah yang dikenal dengan konsep
gender. (Mansour Fakih, 2006:8)
Sejarah perbedaan gender (gender
different) antara laki-laki dan perempuan terjadi melalui proses yang
sangat panjang. Oleh karena itu terbentuknya perbedaan-perbedaan gender dikarenakan
oleh banyak hal, diantanranya dibentuk, disosiaisasikan, diperkuat, bahkan
dikonstruksi secara sosial atau kultural, melalui ajaran keagamaan maupun
negara. Melalui proses panjang, sosialisasi gender tersebut akhirnya dianggap
menjadi ketentuan Tuhan-seolah-olah bersifat biologis yang tidak bisa
dipertukarkan lagi, sehingga perbedaan-perbedaan gender dianggap dan dipahami
sebagai kodrat laki-laki dan perempuan.
Perbedaan gender sesungguhnya
tidak akan menjadi masalah sepanjang tidak melahirkan ketidakadilan gender (gender
inequalities). Namun, yang menjadi persoalan, ternyata perbedaan gender
telah melahirkan berbagai ketidakadilan, baik terhadap laki-laki maupun
perempuan. Bentuk ketidakadilan gender termanifestasikan kedalam pelbagai
bentuk ketidakadilan, yakni: marginalisasi atau proses pemiskinan ekonomi,
subordinasi atau anggapan tidak penting dalam keputusan politik, pembentukan
stereotip atau melalui pelabelan negatif, kekerasan (violence), beban
kerja lebih panjang dan lebih banyak (double burden).
Gender dalam perspektif agama
Islam
Berbicara mengenai gender, sama
artinya dengan berbicara mengenai relasi antara laki-laki dengan perempuan. Begitu
juga Islam sebagai agama rahmatan lil-alamin juga membahas dan menjelaskan
tentang hak-hak antara laki-laki dan perempuan serta kemitrasejajaran antara
keduanya. Dalam kaitannya dengan persoalan relasi anata perempuan dan
laki-laki, prinsip dasar al-Qur’an sesungguhnya memperlihatkan pandangan yang egaliter
(persamaan). Sejumlah ayat yang mengungkapkannya antara lain: Q.S. al-Hujurat
(49): 13, Q.S. an-Nahl (16): 97, Q.S. at-Taubah (9): 71, Q.S. al-Ahzab (33):
35, juga didukung oleh sejumlah hadits yang menjelaskan tentang kesetaraan
gender.
Al-Qur’an sebagai rujukan utama
dan prinsip masyarakat Islam, pada dasarnya mengakui bahwa kedudukan kali-laki
dan perempuan adalah sama. Keduanya diciptakan dari suatu nafs (living
entity), dimana yang satu tidak memiliki unggulan terhadap yang lain.
Bahkan al-Qur’an tidak menjelaskan secara tegas bahwa Hawa diciptakan dari
tulang rusuk Nabi Adam sehingga kedudukan dan statusnya lebih rendah. Atas
dasar itu, prinsip al-Qur’an terhadap kaum laki-laki dan perempuan adalah sama,
dimana hak istri diakui sederajat dengan hak suami (Q.S. an-Nisa: 1). Dengan
kata lain, laki-laki memiliki hak dan kewajiban terhadap perempuan dan
sebaliknya perempuan juga memiliki hak dan kewajiban terhadap laki-laki.
Meskipun ada beberapa ayat yang
dipahami sebagai bias gender. Misalnya pemahaman terhadap Q.S. an-Nisa (4): 34
yang diartikan sebagai laki-laki adalah pemimpin bagi perempuan. Pandangan yang
menganggap bahwa laki-laki adalah superior dan perempuan adalah inferior
tersebut, tidak berlaku umum dan mutlak. Artinya, tidak semua laki-laki lebih
berkualitas dibanding perempuan.
Pemahaman keagamaan yang bias
gender ini memang tidak mustahil adanya karena interpretasi terhadap ajaran
agama sangat dipengaruhi oleh pemahaman, penafsiran, dan pemikiran penafsirnya
(mufassir) yang erat kaitannya dengan latar belakang sosio-kulturnya yang
melingkupi mufassir tersebut.
Pengarusutamaan Gender
Beberapa tahun ini sering terdengar oleh kita
gembar-gembor istilah pengarusutamaan gender atau gender mainstreaming
dalam berbagai isu pembangunan. Gerakan yang disingkat PUG
(Pengarus-Utamaan Gender) berdasar Instruksi Presiden No. 9 Thn. 2000 ini
bertujuan agar pelaksanaan program-program pembangunan dapat mempertimbangkan
kesempatan dan akses perempuan terhadap program pembangunan yaitu terciptanya
kendali serta manfaat bagi perempuan. Strategi gender mainstreaming ini harus diterapkan diseluruh
proses pembangunan dengan mempertimbangkan laki-laki dan perempuan yang
responsif gender. Upaya pemberdayaan perempuan untuk meningkatkan peran dan
tanggung jawabnya sebagai pendukung gender mainstreaming dalam
kebijakan pembangunan yang sedang marak diaplikasikan oleh pemerintah
berimplementasi pula pada keharusan kedudukan perempuan minimal 30% pada posisi
legislatif. Cukup memberi applause bagi para pejuang feminis bahwa
wacana kesetaraan gender ini sudah memasuki area kebijakan.
Benar yang dikatakan oleh Moser (1989) dalam Gender
Planning in the Third Word bahwa jika ingin meraih kesetaraan gender
perubahan itu perlu sampai ke akar sistem yaitu, “penghapusan pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin,
pengurangan beban pekerjaan rumah tangga dan pengurusan anak, penghapusan
bentuk-bentuk diskriminasi yang melembaga, pemapanan keadilan politik,
kebebasan memilih dalam pengasuhan anak, dan mengambil langkah-langkah yang
memadai untuk melawan kekerasan laki-laki dan kontrol atas perempuan”.
Seandainya itu menjadi petisi yang dikeluarkan bagi perempuan dan laki-laki di
Indonesia, alangkah manisnya. Pembangunan maju, masa depan generasi mendatang
terjamin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar