Senin, 29 Oktober 2012


UPAYA REINTERPRETASI GENDER
By: Umi Hanik

Isu tentang gender telah menjadi bahasan analisis sosial, menjadi pokok bahasan dalam wacana perdebatan mengenai perubahan sosial dan juga menjadi topik utama dalam perbincangan mengenai pembangunan dan perubahan sosial.
Gender dipersoalkan karena secara sosial telah melahirkan perbedaan peran, tanggung jawab, hak dan fungsi serta ruang aktivitas laki-laki dan perempuan dalam masyarakat. Perbedaan tersebut akhirnya membuat masyarakat cenderung diskriminatif dan pilih-pilih perlakuan akan akses, partisipasi, serta kontrol untuk laki-laki dan perempuan.
Apa itu gender?
Untuk memahami konsep gender harus dibedakan kata gender dengan kata seks (jenis kelamin). Pengertian jenis kelamin merupakan pensifatan atau pembagian dua jenis kelamin manusia yan ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu. Misalnya, bahwa manusia jenis laki-laki adalah memiliki penis, memiliki jakala (kala menjing), dan memproduksi sperma. Sedangkan perempuan memiliki alat reproduksi seperti rahim dan saluran untuk melahirkan memproduksi ovum, memilki vagina, dan mempunyai alat-alat menyusui. Alat-alat tersebut secara biologis melekat pada perempuan dan laki-laki selamanya. Artinya secara biologis alat-alat tersebut tidak bisa dipertukarkan antara alat biologis yang melekat pada laki-laki dan perempuan yang juga permanen dan sering dikatakan sebagai ketentuan Tuhan atau kodrat.
Sedangkan konsep gender adalah suatu sifat yang melekat pada laki-laki dan perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural. Misalnya perempuan itu dikenal lemah lembut, cantik, emosional, atau keibuan. Sementara laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan, perkasa. Ciri dan sifat itu sendiri merupakan sifat-sifat yang dapat dipertukarkan. Artinya, ada laki-laki yang lemah lembut, keibuan, sementara ada juga perempuan yang kuat, rasional, perkasa. Perubahan ciri dan sifat itu dapat terjadi dari waktu ke waktu dan dari tempayt ke tempat yang lain. Semua hal yang dapat dipertukarkan antara sifat perempuan dan laki-laki, yang bisa berubah dari waktu ke waktu serta berbeda dari satu tempat ke tempat lainnya, maupun berbeda dari satu kelas ke kelas yang lain, itulah yang dikenal dengan konsep gender. (Mansour Fakih, 2006:8)
Sejarah perbedaan gender (gender different) antara laki-laki dan perempuan terjadi melalui proses yang sangat panjang. Oleh karena itu terbentuknya perbedaan-perbedaan gender dikarenakan oleh banyak hal, diantanranya dibentuk, disosiaisasikan, diperkuat, bahkan dikonstruksi secara sosial atau kultural, melalui ajaran keagamaan maupun negara. Melalui proses panjang, sosialisasi gender tersebut akhirnya dianggap menjadi ketentuan Tuhan-seolah-olah bersifat biologis yang tidak bisa dipertukarkan lagi, sehingga perbedaan-perbedaan gender dianggap dan dipahami sebagai kodrat laki-laki dan perempuan.
Perbedaan gender sesungguhnya tidak akan menjadi masalah sepanjang tidak melahirkan ketidakadilan gender (gender inequalities). Namun, yang menjadi persoalan, ternyata perbedaan gender telah melahirkan berbagai ketidakadilan, baik terhadap laki-laki maupun perempuan. Bentuk ketidakadilan gender termanifestasikan kedalam pelbagai bentuk ketidakadilan, yakni: marginalisasi atau proses pemiskinan ekonomi, subordinasi atau anggapan tidak penting dalam keputusan politik, pembentukan stereotip atau melalui pelabelan negatif, kekerasan (violence), beban kerja lebih panjang dan lebih banyak (double burden).
Gender dalam perspektif agama Islam
Berbicara mengenai gender, sama artinya dengan berbicara mengenai relasi antara laki-laki dengan perempuan. Begitu juga Islam sebagai agama rahmatan lil-alamin juga membahas dan menjelaskan tentang hak-hak antara laki-laki dan perempuan serta kemitrasejajaran antara keduanya. Dalam kaitannya dengan persoalan relasi anata perempuan dan laki-laki, prinsip dasar al-Qur’an sesungguhnya memperlihatkan pandangan yang egaliter (persamaan). Sejumlah ayat yang mengungkapkannya antara lain: Q.S. al-Hujurat (49): 13, Q.S. an-Nahl (16): 97, Q.S. at-Taubah (9): 71, Q.S. al-Ahzab (33): 35, juga didukung oleh sejumlah hadits yang menjelaskan tentang kesetaraan gender.
Al-Qur’an sebagai rujukan utama dan prinsip masyarakat Islam, pada dasarnya mengakui bahwa kedudukan kali-laki dan perempuan adalah sama. Keduanya diciptakan dari suatu nafs (living entity), dimana yang satu tidak memiliki unggulan terhadap yang lain. Bahkan al-Qur’an tidak menjelaskan secara tegas bahwa Hawa diciptakan dari tulang rusuk Nabi Adam sehingga kedudukan dan statusnya lebih rendah. Atas dasar itu, prinsip al-Qur’an terhadap kaum laki-laki dan perempuan adalah sama, dimana hak istri diakui sederajat dengan hak suami (Q.S. an-Nisa: 1). Dengan kata lain, laki-laki memiliki hak dan kewajiban terhadap perempuan dan sebaliknya perempuan juga memiliki hak dan kewajiban terhadap laki-laki.
Meskipun ada beberapa ayat yang dipahami sebagai bias gender. Misalnya pemahaman terhadap Q.S. an-Nisa (4): 34 yang diartikan sebagai laki-laki adalah pemimpin bagi perempuan. Pandangan yang menganggap bahwa laki-laki adalah superior dan perempuan adalah inferior tersebut, tidak berlaku umum dan mutlak. Artinya, tidak semua laki-laki lebih berkualitas dibanding perempuan.
Pemahaman keagamaan yang bias gender ini memang tidak mustahil adanya karena interpretasi terhadap ajaran agama sangat dipengaruhi oleh pemahaman, penafsiran, dan pemikiran penafsirnya (mufassir) yang erat kaitannya dengan latar belakang sosio-kulturnya yang melingkupi mufassir tersebut.
Pengarusutamaan Gender
Beberapa tahun ini sering terdengar oleh kita gembar-gembor istilah pengarusutamaan gender atau gender mainstreaming dalam berbagai isu pembangunan. Gerakan yang disingkat PUG (Pengarus-Utamaan Gender) berdasar Instruksi Presiden No. 9 Thn. 2000 ini bertujuan agar pelaksanaan program-program pembangunan dapat mempertimbangkan kesempatan dan akses perempuan terhadap program pembangunan yaitu terciptanya kendali serta manfaat bagi perempuan. Strategi gender mainstreaming ini harus diterapkan diseluruh proses pembangunan dengan mempertimbangkan laki-laki dan perempuan yang responsif gender. Upaya pemberdayaan perempuan untuk meningkatkan peran dan tanggung jawabnya sebagai pendukung gender mainstreaming dalam kebijakan pembangunan yang sedang marak diaplikasikan oleh pemerintah berimplementasi pula pada keharusan kedudukan perempuan minimal 30% pada posisi legislatif. Cukup memberi applause bagi para pejuang feminis bahwa wacana kesetaraan gender ini sudah memasuki area kebijakan.
Benar yang dikatakan oleh Moser (1989) dalam Gender Planning in the Third Word bahwa jika ingin meraih kesetaraan gender perubahan itu perlu sampai ke akar sistem yaitu, “penghapusan pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin, pengurangan beban pekerjaan rumah tangga dan pengurusan anak, penghapusan bentuk-bentuk diskriminasi yang melembaga, pemapanan keadilan politik, kebebasan memilih dalam pengasuhan anak, dan mengambil langkah-langkah yang memadai untuk melawan kekerasan laki-laki dan kontrol atas perempuan”. Seandainya itu menjadi petisi yang dikeluarkan bagi perempuan dan laki-laki di Indonesia, alangkah manisnya. Pembangunan maju, masa depan generasi mendatang terjamin.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar